Halaman

Jumat, 11 Februari 2011

Mahabbah dan Makrifat

Secara umum mahabbah (cinta kepada Allah adalah satu gejala emosi yang  tumbuh dan bergelora dalam jiwa dan hati manusia, diikuti o[eh rasa keinginan dan hasrat yang keras dan meluap terhadap sesuatu hal yakni Allah SWT.
Mencintai Allah adalah tujuan paling utama dari semua tingkatan dan puncak tertinggi dari tingkat pendakian jiwa. Tidak ada lagi jenjang setelahnya melainkan hanya buah dari cinta tersebut yakni rindu, betah bersamanya dan ridho. Tidak ada jenjang pendakian sebelum mahabbah kepada Allah kecuali merupakan permulaannya, seperti: taubat, sabar atau zuhud dan lain sebagainya.
Mahabbah yang paling wajib dan paling bermanfaat scare mutlak serta yang paling tinggi dan utama ialah mahabbahnya orang yang hatinya terpateri oleh rasa cinta kepada-Nya dan yang jiwanya dibentuk oleh sikap hanya mentuhankan Dia saja, sebab yang namanya Tuhan ialah sesuatu yang had manusia condong kepadanya dengan penuh rasa cinta dengan mengagungkan dan membesarkan-Nya, tunduk dan pasrah secara total serta menghamba kepada-Nya. Dan ibadah tidak bisa disebut baik kccuali jika hanya ditujukan kepada-Nya semata. Karena ibadah adakah kesempurnaan untuk dan merendahkan diri.
Maka tanda manusia yang cinta kepada Allah menurut Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
1.      la ingin berjumpa dengan siapa yang dicintainya. Keinginannya begitu keras sehingga jika ia yakin bahwa tiada jalan lain untuk itu kecuali dengan meninggalkan dunia (mati) tidaklah ia akan keberatan.
2.      la sedia meninggalkan segala apa yang disukainya, jika hal itu bertentangan dengan perintah-Nya.
3.      Ingatannya tidak   lepas dari Tuhan dengan jalan memperbanyak dzikrullah, membaca Al-Quran kitab suci-Nya, cinta kepada Rasulullah SAW pesuruh-Nya. Cinta kepada dan siapa yang ada hubungannya dengan Allah, meningkatkan amalan yang selalu mendekatkan dirinya kepada Allah yang dicintainya yakni Allah SWT.
4.      Suka bermunajat, berbisik-bisik dengan Allah. Ketentuan malam diraihnya untuk sholat tahajjud di kala yang lain pada lelap tidur semua.
5.      Senantiasa mengadakan introspeksi atas kelalaian dan kealfaannya, menyesali hidup dan waktunya yang terbuang percuma yang tidak dipergunakannya untuk melakukan amal- amal kebajikan.
6.      Taat yang dilakukannya merupakan suatu kenikmatan.  la merasa bahagia mengerjakan ibadah secara tertib, penuh tawaddlu. Sebab tiap-tiap orang yang cinta kepada Allah (asyik) tidak akan merasa berat berbuat apa saja untuk   maksudnya (yang dicintai yakni Allah SWT).
7.      la merasa sayang dan kasih kepada sekalian kaum muslimin hamba Allah yang taat kepada-Nya, dan bersikap keras terhadap orang-orang yang ingkar, musuh-musuh Allah benci terhadap perbuatan-perbuatan maksiat dan marah terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan.
8.      Dalam cintanya itu ia merasa takut dan merasa dirinya rendah karena hormat dan ta'zimnya. Takut disini tidak bertentangan dengan cinta. ihsyaf akan kebesaran Allah itu menimbulkan rasa tukut dan hebat. Berhadapan dengan keindahan dan kesempurnaan-Nya mendatangkan cinta. Memang banyak yang ditakut cinta, ia takut hijab, takut berjauhan dan lain-lain.
9.      Ia merahasiakan cintanya, karena ta'zim akan yang dicintainya, karena memuliakan-Nya, karena akibat kepada-Nya dan karena ghirah akan rahasia-Nya.
10.  Merasa ramah dan gembira dalam bergaul dan berdekatan dengan Allah SWT
11.  Rela dan menerima dengan senang hati segala sesuatu yang datang dari pada-Nya sekaligus berupa ujian dan cobaan.
Mahabbah kepada Allah Azza wa Jalla adalah hamba hidupnya, merupakan santapan roh, tak ada kelezatan dan kenikmatan serta kebahagiaan dan kehidupan dalam hati bila tidak ada mahabbah kepada-Nya. Hati kehilangan mahabbah kepada Allah, maka penderitaan yang dirasakannya akan jauh lebih berat dan lebih sangat dari penderitaan mata tatkala kehilangan daya penglihatannya. Dan lebih parah ketimbang penderitaan telinga saat kehilangan pendengaran. Bahkan rusaknya kalbu adalah lebih berat dan lebih dahsyat ketimbang rusaknya badan yang ditinggalkan nyawa. Dan ini semua tidak akan dibenarkan kecuali oleh orang yang kalbunya hidup, karena kalbu yang mati tidaklah bisa merasakan apa-apa.
Allah ta’ala wajib dicintai karena Dzat-Nya sendiri sedang yang selain Allah dicintai hanya sebagai konsekuensi dari rasa cinta kepada-Nya. Semua Kitab yang telah diturunkan-Nya begitu juga dakwah para Rasul menunjukkan wajibnya mahabbah kepada Allah SWT. Fitrah-Nya yang atasnya manusia diciptakan, akal yang dianugerahkan-Nya dan seluruh nikmat yang dilimpahkan-Nya juga menunjukkan wajibnya mahabbah kepada Allah SWT. Sebab hati manusia tumbuh hidup dengan tabiat cinta kepada yang memberi nikmat dan yang berbuat baik kepadanya. Maka lebih-lebih kepada Dzat yang terpencar dari-Nya seluruh kebaikan, yang dari-Nya datang segala nikmat yang ada segenap makhluk Dialah Allah Yang MahaSatu, tiada sekutu bagi-Nya sebagaimana firman-Nya yang artinya         : "Segala nikmat yang ada padamu berasal dari Allah kemudian ditimpa kemudaratan, maka kepada Allah  kamu meminta pertolongan " (5. An-Nahl 53) dan yang artinya : “ Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah(S. Al- Baqarah: 165 ), dan yang artinya     : " Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agama Islam, nanti Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, mereka lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman tapi keras tegas terhadap orang. orang kafir, berjuang di jalan Allah dan tidak takut akan cercaan orang mencerca " (S. A l-Maidah 54).

Nabi SAW. juga menyalakan dalam sabdanya :







Artinya     : "Seorang hamba tidaklah beriman kecuali bila aku Ibis ia cintai daripada anaknya, orang tuanya dan manusia seluruh-nya " (HK. Bukhari dan Muslim).
Beliau juga menyatakan kepada sahabat Umar bin Khattab r.a :
Artinya     :      "Tidak ! (kalau tidak beriman) sebelum aku Ibis kau cintai dari dirimu sendiri" (HR. Muttafaq 'alaih).

Apabila Nabi SAW. harus lebih kita cintai daripada diri kita sendiri, bukankah Allah Azza wa Jalla hams lebih kita cintai dari segalanya dan harus kita sembah ? Setiap anugerah yang dilimpahkan kepada hamba-hamba-Nya menuntut mereka untuk mencintai-Nya lebih dari apa saja yang mereka cintai. Semua anugrah pemberian-Nya, pencegah-Nya keselamatan dan cobaan yang diberikan-Nya, kelapangan dan kesempitan diatur-Nya untuk hamba-Nya, meng-hidupkan dan mematikan-Nya, sayang-Nya terhadap sang hamba, pengabulan doa, menghilangkan kedudukan si hamba dan pertolongan-Nya terhadap-nya, sedang Dia sendiri tidak membutuhkan sesuatu darinya bahkan Dia Maha Kaya tidak membutuhkan kepada makhluk, semuanya itu menuntut hati manusia untuk mentuhankan dan bermahabbah kepada-Nya. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang berbuat sedikit saja dari kebaikan kebaikan yang tersebut diatas ke­pada orang lain, niscaya orang yang menerima kebaikan tersebut akan mencintainya. Maka mengapa seorang hamba tidak menumpahkan seluruh rasa mahabbahnya kepada si hamba dengan menganugrahkan nikmat karunia-Nya yang tidak tiada terhingga, namun sang hamba malah, justru  sebaliknya. Ia kebenciannya dengan cara berbuat maksiat, padahal ia butuh kepada Allah. Segala kebaikan, rahmat dan nikmat-Nya tidaklah menghalangi si hamba dari maksiatnya, begitu juga maksiat dan kejahatan si hamba tidaklah memutuskan kebaikan Allah kepadanya. Lagi pula, setiap makhluk yang anda cintai dan yang mencintai anda, dia pasti mengharap  menginginkan anda untuk kepentingannya sendiri. Tetapi Allah SWT. justru mengharap dan menginginkan anda dengan kebaikan anda sendiri. Juga setiap makhluk yang anda gauli, tidak akan mau bergaul dengan anda jika bergaulan itu tidak membawa keuntungan untuk dirinya. Tetapi Allah mengajak anda bergaul dengan-Nya justru untuk memberikan keuntungan yang amat besar. Satu dirham sedekah anda dibalas dengan 10 dirham bahkan sampai 700 kali lipat dan malah lebih banyak lagi, sedang kejahatan yang anda lakukan hanya dibalas satu hukuman itupun bisa dihapuskan (dimaafkan).
Allah SWT. menciptakan anda supaya anda mengabdi kepada-Nya dan dia menciptakan semua yang ada di dunia dan akhirat untuk kepentingan anda. Maka siapakah yang lebih berhak dan lebih utama untuk dicintiai sepenuhnya dan yang paling patut dicarai keridhannya?
Semua permintaan anda bahkan permintaan semua makhluk ada pada-Nya. Dialah Dzat Yang Maha Pemurah, Maha Dermawan dari semua yang dermawan, yang memberi hamba-Nya sebelum diminta  dengan pemberian yang jauh melampaui batas keinginan dan cita-citanya, yang menerima amal walaupun sedikit, lalu Dia memperbanyaknya, Yang  Maha mengampuni dosa betapapun bentuknya dan menghapusnya, yang kepada-Nya seluruh makhluk di langit dan di bumi meminta dan berdoa untuk setiap perkara setiap hari. yang mampu mendengarkan beribu pendengaran sekaligus. Dan tidak keliru memberi lantaran banyaknya permintaan.
Dia tidak akan pernah jemu terhadap orang yang terus menerus memohon dan meminta, bahkan Dia cinta kepadanya suka bila diminta, benci jika dijauhi. Dia merasa malu apabila tidak mengabuikan doa hamba-Nya, .sementara si hamba tidak punya malu kepada-Nya. la tutupi aib cela sang hamba sementara si hamba menutupi aibnya sendiri.
Maka betapa hati manusia tidak mencintai-Nya yang hanya Dia-lah satu satunya sumber kebaikan. Dia satu satunya yang memperkenankan doa dan permohonan, menghilangkan segala kesalahan, dosa dan kesusahan, yang merentang jalan keluar bagi setiap problema dan permasalahan. Hanya Dia satu satunya Allah SWT ............!.
Imam Ibnu Al-Mubarak r.a bersyair
"Kau mengukur cinta kepada Tuhanmu,
Tapi engkau mendurhaka kepada-Nya
Demi Allah, ini suatu sikap yang amat keji
Kalau memang cintamu  benar
Nescaya kau taat kepada-Nya
Karena orang yang menyinta
Akan selalu taat kepada yang dicintainya.
Seorang bijak bestari merangkum juga sebuah syair :
"Jadilah engkau
Orang, yang Mahabbah kepada Tuhanmu
Untuk berbakti kepada-Nya
Sesungguhnya
Orang yang punya rasa mahabbah 
Akan mendapat  pelayanan
Bagi yang dicintainya   .......................
Karena itu tepat sekali firman Allah SWT. yang berbunyi yang artinya          : Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-ana , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Dan ayat ini dapatlah dipahami bahwa manusia dalam kehi-dupannya sehari hari dapat mencintai kepada berbagai ha] dan yang demikian tidak dilarang. Hanya kecintaan kepada Allah-SWT haruslah diletakkan di atas hal hal yang juga dicintai manusia adalah sebagai berikut:
1.      Manusia amat cinta kepada bapaknya. termasuk juga ibunya. Karena dia adalah keturunan penyambang darah dan ayahnya. Dia berbangga meletakkan bin ujung  namanya untuk menyambungkan dengan nama ayahnya.
Pendeknya kalau kepada semua itu cinta terpaut, kita akan sengsara dan kita akan kehilangan tujuan hidup yang sebenarnya. Janganlah dicintai segala yang akan hilang, yang akan kita tinggalkan atau meninggalkan kita, tetapi cintailah yang selalu ada dekat kita dan kepada-Nya kita akan kembali, yakni Allah SWT.
Dalam tarikh diceritakan bahwa tatkala terjadi peperangan di zaman Rasulullah, seorang ibu bernama Khansa' melepas empat orang putranya turut berjuang di medan tempur. Karena kecintaannya kepada Allah, ibu yang sudah tua tadi tidak ragu-ragu lagi mengorbankan sesuatu yang paling dicintai oleh seorang ibu yaitu anak belahan jiwanya ikut dalam peperangan tadi. Ketika keempat puteranya akan berangkat maka ibunya (Khansa') memberikan restu dengan kata-kata sebagai berikut:
"Kamu berempat adakah anak laki-laki yang lahir dari perut ibumu. Berangkatlah ke medan jihad, dan mantapkanlah dalam hatimu bahwasanya kehidupan yang kekal dan abadi jauh lebih baik dan memberikan kebahagiaan dibandingkan dengan kehidupan dunia ini". Dalam peperangan yang sengit melawan orang kafir, keempat putera Khansa' ini gugur sebagai syahid. Dan ketika peristiwa yang mengharukan ini disampaikan kepada ibu yang sudah tua dan lemah bahwa puteranya telah gugur menjadi korban, maka ia bcrucap :
"Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan saya dan gugur-nya mereka (anak anaknya). Saya mengharapkan dari Tuhanku supaya saya dikumpulkan-Nya bersama anak anakku pada tempat yang abadi, penuh dengan karunia-Nya".
Demikianlah sikap dan contoh seorang ibu yang bernama Khansa" yang cintanya kepada Allah SWT. melebihi cintanya kepada yang lain termasuk kepada putera puteranya sendiri.
Cinta kepada Allah itu bersumber pada iman. Semakin kuat iman seseorang semakin kuat pula cintanya kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman-Nya yang artinya    : orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (S. Baqarah 165).
Bahkan dalam surat Al-Anfal ayat 2 disitu digambarkan tentang sikap orang yang beriman sedemikian rupa, sehingga apabila terdengar saja sebutan (nama) Allah, maka hatinya bergetar dan kalau mendengar bacaan kalam llahi, keimanannya kepada Allah semakin bertambah.
Afif Abd. Fattah Thabbarah mengemukakan :
"Mukmum yang sejati ialah orang yang telah mencapai ketinggian dan kebesaran ilahi,  merasakan kepeyantunan-Nya dan kebaikan-Nya. Dia tahu dengan penuh kesadaran bahwa Tuhan  menganugrahkan nikmat yang tidak ternilai banyaknya kepadanya. Pengetahuannya atas hal itu memberikan bekas kedalam jiwanya, yang akhirnya membukakan kecintaannya kepada Allah. Hatinya senantiasa rind kepada Allah. Segenap perbuatannya dihadapkannya sebagai suatu kelezatan hidup. Yang demikian ini menumbuhkan sikap ridho.   Pandangannya terang dan cerah serta memiliki hati yang tenteram”
Dr. Zaky Mubarak menyatakan :
"Cinta kepada Allah adalah azas yang penting dalam, pemuliaan akhlak. Cinta kepada Allah akan membentuk jiwa manusia menjadi lembut, menjauhi kejahatan dan saling sengketa, kepribadian semacam ini mengantarkan manusia untuk mencintai segala sesuatu dalam alam wujud ini sebagai suatu keadaan yang harus dicintai. Tabiat yang demikian dan lain-lain sifat yang rendah dan buruk yang dapat menghancurkan kenikmatan hidup dan kehidupan yang mesra, tentu akan dihindarinya".
Disamping ciri-ciri yang dikemukakan diatas sebagai rasa cinta kepada Allah, akibat cinta kepada Allah inipun memberikan pengaruh pula dalam kehidupannya antara lain:
a.       Dengan cinta kepada Allah dapat  mewujudkan  sifat adil dalam diri manusia. Dimana Allah yang dicintai manusia ini memerintahkan untuk berlaku adil, sebagaimana firman-Nya yang  artinya    : “ Hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”(S. Al-Hujarat: 9)

b.      Orang yang cinta kepada Allah akan menjadi seorang pejuang pada jalan-Nya serta berani mengorbankan segala apa yang dimilikinya termasuk jiwa raganya sekalipun. Allah berfirman yang artinya : " Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan Allah dalam barisan yang teratur laksana tembok yang teguh lagi kokoh.” (ash-shaff:4)

c.       Cinta kepada  Allah akan membentuk pribadi seseorang baik dan selalu senang berbuat kebaikan. Firman Allah yang artinya : “  Berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”(S.Al-Baqarah:195)






Dalam   sebuah hadist disebutkan :
Artinya      : "Sesungguhnya hamba Allah yang paling dicintai ialah orang yang cinta kepada kebaikan dim cinta mengerjakan kebaikan itu" (HR. Ibn'u Abid dan Abu Syaikh).
d.      Orang yang cinta kepada Allah akan dikarunia-Nya sifat sabar, tabah hati dan teguh menghadapi segala ujian, cobaan dan kesulitan. Allah berfirman yang artinya : “ Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah Karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.”

e.       Cinta kepada Allah menanamkan semangat kebersihan dan kesucian. Menggerakkan hati untuk bertaubat atas dosa dan kesalahan yang terlanjur dikerjakannya. Allah berfirman yang artinya : " Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan dirinya" (S. Al-Baqarah 222).

f.       Orang-orang yang cinta kepada Allah memiliki sifat-sifat dipercaya, senantiasa menempati janji  dan bertaqwa dalam kehidupannya. Allah berfirman yang artinya          : "(Bukan demikian). sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuatnya) dan bertakwa. maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa" (S. All Imran 76).

g.      Orang-orang yang cinta kepada Allah senantiasa berserah diri kepada Ilahi dalam setiap usaha dan perjuangannya. Allah berfirman yang artinya : “ Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (S.Ali Imran: 159)

Dalam sebuah hadist disebulkan, salah satu diantara tujuh golongan yang akan mendapat perlindungan Allah, pada hari tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, yaitu dua orang yang bergaul, bcrkumpul atau berpisah, berkasih-kasihan atau benci karena Allah.
Dasar pergaulan ini tidak lain karena Allah semata. Artinya kita cinta kepada seseorang karena orang yang bersangkutan melaksanakan perintah Allah. Sebaliknya, jika kita benci kepada seseorang, maka kebencian itu ialah karena orang tersebut tidak melaksanakan kewajibannya kepada Allah SWT.
Hal ini harus kita lakukan secara konsekuen tanpa memandang pertalian darah atau pertalian kepentingan. Sikap mental yaitu semacam ini perlu kita kukuhkan dan sekaligus merupakan cermin adanya keimanan terhadap Allah SWT. Allah berfirman yang artinya     : “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau Saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (S.Mujadallah 22)

MAKRIFAT
Dalam kitab Risalah al-Qusyairah Imam Abi-Qasim berkata:   

Artinya   : Arti makrifat menurut pandangan ulama (bukan ahli tasawwuf) ialah pengetahuan. Maka tiap-tiap ilmu itu adalah makrifat dan tiap-tiap makrifat adalah orang arif dan tiap-tiap orang arif adalah alim.

Selanjutnya dalam kitab tersebut, memberikan perincian tentang pengertian makrifat sebagai berikut:
Artinya   : Barang siapa yang mengenal Allah dengan jalan pertolongan Allah maka prang itu adalah "Arif" tentang Allah secara hakekat (Ahli Tasawwuf). Orang yang  ''Arif'" tentang Allah dengan cara dalil saja maka itu, adalah orang Mutakallimin [Ahli Usuluddin]. Orang yang "arif tentang Allah dengan cara taklid [menuruti perkataan orang tanpa mencari dalil] maka orang itu adalah orang awam/orang bodoh.
Selanjutnya dalam Tasawwuf Zunnun al-Misriah (W.860 M) yang dipandang sebagai Bapak faham "makrifah", menurut beliau ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan.
1.    Pengetahuan Awam                                             :  Tuhan satu dengan perantaraan ucapan kalimat syahadat.
2.    Pengetahuan Ulama                                             : Tuhan satu menurut jalan akal pikiran.
3.    Pengetahuan sufi/tasawwuf                                 : Tuhan satu dengan penglihatan\ Hati sanubari.
Pengetahuan menurut pengertian pertama dan kedua, belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut Ilmu/bukan makrifah. Pengetahuan menurut pengerti­an yang ketigalah yang merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan dan pengetahuan ini disebut "makrifah".
Makrifah hanya terdapat pada kaum Sufi, yang sanggup melihat Tuhan dengan Hati sanubarinya. Pengetahuan serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum Sufi yang sangat berhasrat untuk menemukan Tuhan karena sangat cintanya kepada-Nya. Makrifah dimasukkan Tuhan ke dalam hati orang Sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika Zannun ditanya bagaimana ia memperoleh. makrifah tentang Tuhan ia menjawab:
Artinya   :         Aku mengenal Tuhan dengan pertolongan Tuhanku dan sekiranya tidak karena Tuhanku aku tak akan kenal Tuhan".
Ini menggambarkan bahwa makrifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian dari Tuhan.   Karena itu maka makrifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat tuhan, dalam arti bahwa makrifah adalah pemberian Tuhan kepada Kaum Sufi yang sanggup menerimanya.
Alat untuk memperoleh makrifah oleh kaum Sufi disebut sir Dalam Arrisalah al-Qusyairiah disebutkan, ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan prang Sufi dalam hubungan mereka dengan Tuhan,
1.      Qalb/ untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2.      Ruh/ untuk mencintai Tuhan                                             
3.      Sir/ untuk melihat Tuhan,
Sir lebih halus dari ruh dan ruh lebih halus dari qalb. Qalbu tidak sama dengan jantung, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Perbedaan qalb dengan aka ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan sedang qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada dan jika Tuhan melimpahkan cahayanya kepada qalb, bisa ia mengetahui segala apa yang ketahui Allah.
Nampaknya "sir" bertempat di ruh dan ruh bertempat di qalb dan sir timbul dan dapat menerima limpahan rahmat dari Allah kalau qalb dan ruh itu telah suci sesuci-sucinya, kosong tidak berisi apa pun. Pada ketika itulah Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada sang Sufi dan yang dilihat oleh Sufi itupun hanyalah Allah. Ketika itulah ia telah sampai ke tingkat makrifah.
Makrifah serupa ini diakui oleh Ahli Sunaah wal Jamaah.
Diantara beberapa takrif tentang makrifah antara lain:


Ahli Muhaqqiqin berkata:
Artinya   : "Makrifat itu ialah ketetapan hati mempercayai akan wujudnya zat yang wajib wujud yang bersifat dengan segala kesempurnaan, jauh dari sifat kekurangan".
Selanjutnya dikatakan:
Artinya   : "Makrifat   itu   terlihatnya   di  dalam   keadaan   kita   tercengang dan leburnya kita dalam. keadaan pingsan".
[Arrisalah al-Qusyairiah].
Keadaan seperti ini terjadi ketika Nabi Musa berkata-kata dengan Allah dimana Musa memohon agar ia dapat melihat Allah.
Firman Allah (S.Al-Aaraf 143) yang artinya : Maka berkatalah Musa : “ Ya Tuhanku nampakkanlah [zat kesempurnaanmu] kepadaku agar aku dapat melihat Engkaii. Tuhan berfirman: Kamu sekali-kali tidak bisa melihat Aku, tetapi lihatlah ke bukit itu; maka jika bukit itu tetap di tempat-nya, niscaya kamu dapat melihat Aku. Tatkala Tuhan nampak bagi bukit itu, kejadian itu menjadikan bukit itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan".

Pengertian yang dapat diambil dalam ayat tersebut antara lain:
I.                    Melihat Tuhan dengan mata kepala, itu mustahil. Firman Allah:
Artinya: Bahwa Allah itu tidak mungkin di dapat dengan peng­lihatan mata
II.                 Bahwa Makrifah itu sesungguhnya adalah tembus penglihatan hatinya kepada Allah. " Firman Allah:
Artinya:   Lihatlah  apa  yang  sebenarnya   yang  ada   di   Langit dan di Bumi.
Tetapi pandangan/penglihatan dengan mata hati kadang-kadang terbalik menjadi penglihatan mata kepala. Dikiranya ia melihat dengan pandangan mata kepala apa yang ternyata dengan penglihatan hatinya, padahal sebenarnya ia melihat dengan mata hatinya. Kejadian seperti ini terjadi pada suatu waktu Syekh Abdul Qadir Jailany ditanya seorang laki-laki, apa bisa dilihat Tuhan dengan mata? Yang dijawab oleh beliau: Ya, bisa.
Cerita ini akan diuraikan pada Bab kemudian dalam buku ini. Dalam pada ini

Ali Bin Abi Thalib berkata:
"Kulihat Tuhanku dengan  mata  hatiku dan  akupun  berkata: Tiada syak lagi yang Engkau itu adalah Engkau .Tuhan".
III.               Bahwa sesungguhnya ruh itu senantiasa terhijab dengan rasa keinsanan. Bahwa penglihatan yang nampak ini, tak ada yang dilihat kecuali apa yang nampak juga. Apabila sifat kerohanian lebih berkuasa atas sifat keinsanan maka terbaliklah pandangan mata kepala menjadi pandangan mata hati. Ketika itu tiada dilihat mata kecuali apa yang dilihat oleh hati.
Dalam pada ini, penglihatan mata yang bersifat kebaharuan, lebur ke dalam penglihatan hati yang bersifat keqadiman. Artinya, mustahil baharu dapat bercampur Qadim. Demikianlah uraian-uraian tersebut diatas yang dikutip dari Kitab Iqazdul Himam.
IV.              Selanjutnya di dalam Tafsir Mahsinut TakwiJ menerangkan:
Adapun Firman Allah yang mengatakan:
"Akan tetapi Lihatlah ke bukit itu,  maka jika.  bukit itu ditempatnya, niscaya kamu [Musa] dapat melihat Aku".
Dalam pengertian ini, Maka Tuhan menggantungkan bolehnya terlihat atas tinggal tetapnya bukit itu pada tempatnya. Artinya Allah itu mungkin terlihat pada dirinya. Maka yang tergantung atas kemungkinan, maka itu mungkin hukumnya.
Selanjutnya dalam Kitab Kawsyiful JiUiyah memberikan penafsiran:


Adapun Firman Allah yang mengatakan :
"Tatkala   Tuhan   nampak   bagi   bukit   itu,   kejadian   itu   menjadikan bukit itu hancur luluh".
Maka apabila ada kemungkinan bahwa Tuhan bisa nampak bagi bukit benda beku itu, bagaimana tidak mungkin nampak bagi Rasul-Rasulnya dan Wali-Walinya. Bahwa sesungguhnya Allah berkata-kata dengan Nabi Musa. Maka apabila mungkin berkata dengan Musa dan Mass mendengar kata-kata Tuhan itu tanpa batas antaranya, maka kemungkinan untuk melihatnya Allah itu adalah lebih mungkin lagi.
Dalam pada ini bahwa barang siapa yang sudah mencapai Makrifah, maka lenyaplah diri keinsanannya lebur ke dalam kebaqaan Allah. ;
Firman Allah:
"Tiap orang atasnya kebinasaan/fana dan zat Tuhan tetap dalam kebaqaan yang mempunyai sifat sempurna dan Maha Agung".

Dalam Kitab Iqazdul Himam, Ahli-Ahli Tasawwuf berkata:
"Barang siapa yang melihat Tuhan niscaya lenyaplah  dari dirinya, dan barang siapa ni3.sih..melihat dirinya,. niscaya terhijab daripada Allah".
Jadi pengertian "makrifah" tidak cukup dengan jaiaa dalil-dalil atau dengan jalan akal fikiran saja, tetapi makrifah dapat: dicapai dengan pertolongan Allah sebagaimana penjelasan Zunnun. tersebut diatas.

MAKRIFAH SEBAGAI MAQAM TERTINGGI

1.      Arti Makrifah:
Makrifah sebagai inti pokok dari penyusunan Buku ini, maka untuk memantapkan pengertian tentang "makrifah", dalam Bab ini penulis mengulangi lagi untuk menguraikan tentang arti makrifah.
Arti "makrifah" menurut takrif dari buku-buku yang kita ^baca, ialah mengetahui Allah dari dekat dimana hati sanubari melihat Allah.
Ali bin Abi Thalib r.a.   dalam syairnya berkata:
"Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku, dan aku pun berkata: tidak syak lagi Engkau itu, adalah Engkau Tuhan",


Dalam pada itu, al-Shazali memberikan arti Makrifah sebagai berikut:
"Makrifah ialah mengetahui rahasia-rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada".
Oleh karena itu Ghazali selanjutnya mengatakan:
"Makrifah ialah memandang kepada wajah Allah s.w.t.".

Dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah dikatakan:
"Makrifah itu ialah lenyap dari segala yang lain, pada ketika nampaknya Yang Maha Esa".
Dan sebahagian Ahli-Ahli Tasawwuf mengatakan:
"Ketika aku melihat Tuhan, tidaklah melihat yang lain, demikianlah yang lain, disisi kami tidak lagi- dibolehkan".
Pengertian "makrifah" dalam hubungan hamba dengan Tuhan, adalah mempunyai arti penting dan merupakan kewajiban yang paling pokok.
Firman Allah dalam Qur'an:
"Artinya: "Tiadalah Aku mendapatkan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepadaKu [untuk mengenal Aku}."
Makhluk dan Khalik (ciptaan dan Maha Pencipta) adalah dua kenyataan yang saling menggenapi. Tanpa Khalik, tidak mungkin ada makhluk. Sebaliknya, Tuhan tanpa makhluknya, tiada sesuatu yang akan mengenalnya. Karena Tuhan ingin dikenal maka la menciptakanlah makhluk.




Dalam suatu Hadits Qudsi Allah berfirman:
Artinya: "Aku [Allah] adalah perbendaharaan yang tersembunyi IGhaib], Aku ingin memperkenalkan siapa Aku. Maka Aku ciptakanlah Makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diriKu kepada mereka. Maka mereka itu mengenali Aku".

2.      Makrifah sebagai maqam tertinggi.
Tingkat tertinggi dalam pelajaran Tasawwuf ialah "Makrifah". al-Ghazali mengatakan: Makrifah ialah setinggi-tinggi. tingkat yang dapat dicapai oleh Sufi.
Pengetahuan yang diperoleh dari "makrifah" lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Demikian al-Ghazali.
Memperoleh Makrifah, merupakan proses yang bersifat kontinu. Makin banyak seseorang Sufi memperoleh makrifah dari Allah, makin banyak yang diketahuinya tentang rahasia-rahasia Allah s.w.t. dan ia pun makin dekat kepada Allah.
Makrifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi bergantung kepada kurnia pemberian Tuhan. Makrifah adalah pemberian Tuhan kepada hambanya yang sanggup menerimanya. Bahwa datangnya kurnia "makrifah" itu karena adanya kesungguhan, kerajinan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriah sebagai pengabdian yang dikerjakan oleh tubuh untuk beribadat, itulah yang disebut........
Karena   banyaknya   amal,   maka   datanglah   kurnia/.......... sebagai pekerjaan Qalbu. Dengan jalan ini datanglah limpahan kurnia dari Tuhan. Kurnia dari Tuhan itu adalah sebagai balasan untuk ganjaran/pahala atas amal itu. Maka apabila kita telah berkekalan terus dalam beramal dimana hatipun paralel geraknya, sehingga menjadi suci bersih, maka" menjadilah Maqam atau derajat yang tertinggi. Jadi, Ahwal/kurnia adalah pemberian, sedang Maqam/derajat adalah karena amalan.
Dalam pada ini, ketika Zunnun ditanya dengan jalan apa tuan mencapai makrifah?
"Ketika Zunnun ditanya, dengan jalan apa titan mencapai "makrifah?" yang dijawab oleh beliau: Aku mencapai makrifah dengan kurnia dari Tuhanku. Dun jikalau bukan karena kurnia dun Tuhanku, maka akupun tidak memperoleh makrifah".



3.      Ciri-ciri Ahlul Makrifah:
Dalam tanjakan-tanjakan bathin kearah mencapai "makrifah” sebagai Maqam tertinggi, maka Syathiby berkata: Iqazdul Himma)

"Berkata Syekh Syathiby: Adapun ciri-ciri Ahlul Makrifah inilah orang, hatinya bagaikan cermin yang dapat terlihat didalamnya hal-hat yang ghaib daripada selainnya dia, dan sinar hatinya tiada lain kecuali nurul Iman  dan nurul Yaqin. Maka atas sekedar kekuatan imannya, maka bersinarlah  nur hatinya.   Dan  atas kadar kekuatan amar nur hatinya dapatlah ia ber-musyawarah dengan Al-Haqqu Taala/. ..... dan atas kadar kekuatan Musyahadah. maka dapatlah la ber-makrifah dengan Asmaullah, Sifatullah. Dan atas kadar kekuatan Makrifatullah dengan keduanya itu, maka dapatlah ia mencapai Makrifah Zatullah yang Maha Agung,
Atas kadar kekuatan 'Makrifah Zatullah", maka sang hamba mencapailah sebagai Insanul Kamil/sifat sempurna. Atas kadar kekuatan sifat sempurnanya, maka ia tenggelamlah ke dalam sifat kesempurnaan Allah karena pengabdiannya sebagai hamba Allah. Dengan tenggelamnya dalam, sifat kesempurnaan Allah itu. maka sang hamba mencapailah maqam pada maqam Hakekat Ketuhanan. Pada tarap seperti ini. Keindriaan mulai lenyap/fana, maka berkuasalah perasaan bathin dalam suatu keadaan masivvallah, yakni dalam wujud Allah semata-mata, Akal pikiran tidak jalan lagi, melainkan tiba pada maqam/derajat tertinggi dan Maha Agung.
Ketika itu, ia telah beroleh kelezatan yang belum pernah terlihat mata, tidak pernah terdengar telinga dan tidak terlintas dalam hati sanubari manusia. tidak mungkin disifati atau dinyatakan dengan kata. Tetapi tiap orang akan tahu sendiri bilamana telah mengalaminya.
Berkata sebahagian ahli-ahli Tasawwuf:
''Siapa yang belum merasakannya, maka ia akan belum mengenal-nya",  Artinya.   siapa   yang  belum   mengalami   hakekat   ''Makrifah maka ia belum sampai kepada "maqam tertinggi".

MAHABBAH (CINTA)

Mahabbah (cinta) berarti kecintaan, kelembuatan perasaan sayang dan kecenderungan. Ketika cinta mempengaruhi dan meresapi semua perasaan manusia. Ni’ma disebut nafsu (passion) dan ketika ia menjadi sangat dalam dan tidak dapat ditahan dan ingin menyatu, maka ia dinamakan gairah dan atusisme. Cinta oleh banyak sufi didefinsikan sebagai hubungan hati dengan kekasih sejati atau keinginan tak tertahankan  akan diri-Nya. Atau berusaha untuk menuruti keinginan dan perintah-Nya dan pikiran dan perbuatan, atau terserap dari mabuk tanpa “ketenangan” sampai masa pertemuan. Semua definisi itu dapat diringkaskan sebagai “berarti” di kehadiran ilahi dan bebas dari segala hubungan dari kekhawatiran yang fana.
Cinta sejati berarti bahwa seseorang pencinta sepenuhnya mencari kekasih dan senantiasa secara batin bersama-Nya, dan bahwa dia selalu merasakan diri-Nya dan bebas dari segala jenis keinginan dan nafsu yang lain. Hati orang mencapai derajat cinta ini selama berdetak dengan perhatian baru untuk kekasih di setiap saat. Imajinasinya selalu mengembara di dalam iklim-Nya yang misterius, perasaannya menerima pesan-pesan baru dari-Nya setiap saat dan ia akan membuat sayap dengan pesan-pesan itu dan ingin menemui-Nya segera.
Pencinta yang mentransendesikan dirinya dengan sayap-sayap cinta dan mencapai Tuhannya mengemban tanggung jawab dan Tuhannya di hatinya, dan hatinya selalu disesuaikan dengan visi-Nya. Sifat-sifatnya “tertukar” oleh cahaya keagungan ilahi dan hilang dalam ketakjuban dan keterpesonaan. Dengan cangkir cinta di bibirnya, sedangkan tirai yang tak tampak diangkat dihadapannya satu demi satu, dia mabuk dengan mempelajari makna yang datang meluncur turun dari balik tirai dan terbenam dalam kegembiraan karena menyaksikan pemandangan disebaliknya. Dia berjalan sesuai perintah Allah Yang Maha Benar, dan berhenti sesuai perintah-Nya pula. Ketika dia berbicara dai melakukannya berdasarkan ilham yang datangnya dari-Nya  dan ketika dia diam, dia melakukan  dalam nama-Nya. Terkadang dia sedang dalam perjalanan menuju Dia. Terkadang berada dalam kedekatan-Nya, dan terkadang disibukkan dengan menyampaikan pesan-pesan-Nya  kepada orang lain.
Beberapa sufi mendefinisikan cinta sebagai melakukan kebajikan dan menolong dalam kaitannya  dengan cinta Allah kepada hamba-hambanya terpilih, dan sebagai kepatuhan, ketaatan dan kepasrahan tanpa syarat dalam, kaitannya dengan cinta hamba kepada Allah. Kupler dari Rabiah al-adawiyah berikut ini mengekspresikan makna tersebut.
Engkau bicara tentang mencintai Allah sedang engkau mendurhakai-Nya
Aku bersumpah demi hidupku bahwa ini adalah sesuatu yang sangat ganjal
Jika engkau sungguh dalam cintamu, engkau akan mematuhi-Nya.
Karena pencinta mematuhi yang dia dicintai.
Cinta didasarkan pada dua pilar penting:
·         Pertama, adalah pilar yang dimanifestasikan oleh amal pencinta, seorang pencinta berusaha memenuhi keinginan kekasihanya.
·         Yang kedua, berhubungan dengan dunia batin dan si pencinta yang seharusnya secara batin tertutup terhadap segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan-Nya. Inilah yang dimaksudkan oleh manusia Allah (ahli Allah) ketika membicarakan cinta. Menurut mereka emosi yang berhubungan dengan atau cinta kepada segala jenis kesenangan termasuk kesenangan spiritual (atau kepentingan diri tidak dapat disebut cinta seperti ia hanya dapat menjadi cinta figuratif.
Setiap pencinta tidak dapat merasakan cinta kepada Allah yang sama dalam derajat yang setara. Cinta bervariasi sesuai dengan kedalaman emosional dan spiritual dari pecinta dan sesuai dengan derajat kesadarannya dan perhatiannya dalam kepatuhan kepada kekasih. Variasi itu adalah:
1.      Cinta yang dirasakan oleh orang-orang yang belum berada di awal iman adalah tidak mapan dan rapuh.  Mereka bermimpi sudah mampu mendapatkan derajat. Kebaikan sempurna dan setiap saat dapat menerima tanda-tanda makrifat Allah. Ada masanya ketika mereka gemetar terhadap kerlip “cahaya” yang muncul di cakrawala mereka  dan takjub dan heran meski hanya sepintas.
2.      Orang-orang yang telah lama terbang di langit cinta menuju titik tertinggi. Mereka tinggal dalam lingkungan yang terang di bawah naungan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW, Sembari berusaha mengikuti suri tauladan akhlak dari Nabi Muhammad SAW, mereka tidak pernah berharap akan balasan mated dan spiritual dan tidak mengharapkan kesenangan. Bahkan di titik puncak representsi suri ini sekalipun, mereka tetap merendah hati, seperti cabang yang tunduk karena digantungi oleh berat dari buah-buahan yang keluar darinya, dan senantiasa menyebut Kekasihnya jika mereka tergelincir oleh kesalahan dan kekeliruan, mereka menghukum diri mereka dan berjuang mengatasinya.
3.      Orang-orang yang paling unggul dalam cinta Allah adalah sprit awan hujan di "langit" Islam. Mereka merasakan ekstensi bersama-Nya dan hidup dengan-Nya. Melihat dan bernafas dengan-Nya. Dalam putaran lingkaran yang tiada henti mereka dipenuhi dengan kepedihan perpisahan (dengan-Nya) dan keinginan untuk bertemu dengan-Nya, dan ketika dibebaskan atau dikosongkan, mereka naik ke atas cahaya dan luruh ke bumi untuk memeluk seluruh eksistensi yang hidup maupun mati.
Dalam derajat cinta manapun, orang yang berpaling kepada-Nya dengan sepenuh hati dan lulus akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan kedalam perasaan dan perhatian dengan-Nya, Yang pertama dari ketiga golongan tersebut di atas menerima pertolongan spesial dan nikmat, sedangkan kelompok kedua mencapai horizon pemahaman Sifat-sifat Keagungan dan Kemurahan, bebas dari karakter tercela. Orang dalam kelompok ketiga disinari dengan cahaya Wujud-Nya dan dibangkitkan menuju realitas segala sesuatu, berhubungan dengan dimensi dari eksistensi di balik tirai. Yakni, Allah SWT memanifestasikan cahaya keagungan-Nya untuk membakar sifat-sifat dan orang-orang yang Dia cintai dan mengangkatnya ke dunia.  Atribut Ilahi seperti Maha Melihat dun Maha Mendengar. Dia membuat mereka sepenuhnya sadar akan fakta bahwa mereka adalah fakir dan tak berdaya di hadapan-Nya dan memenuhi hati mereka dengan cahaya eksistensi dari Wujud Ilahi.
Seorang pecinta dengan derajat cinta seperti itu, dan yang dianugerahi dengan pertolongan Ilahi, mencapai kehidupan abadi yang tidak dapat dideskripsikan dalam istilah eksistensi atau non-eksistensi. Seperti sebatang besi yang dibakar di api dan menjadi seolah-olah seperti sebatang api, dia tidak mampu untuk membedakan antara Wujud Ilahi dengan manifestasi-Nya dan karena itu mengekspresikan perasaan dan pengalamannya. Dalam istilah yang diasosiasikan dengan keyakinan yang keliru sprit inkarnasi dan penyatuan (dengan tuhan. Dalam keadaan sprit itu, yang harus dipertimbangkan adalah kriteria yang ditetapkan dalam sunnah. Ekspresi yang diucapkan loch orang-orang yang tingkat rohaninya mendalam dan lenyap dalam cinta kepada Allah saat mereka mabuk dengan cinta tidak dapat dianggap sebagai kriteria untuk menilai mereka. Jika tidak kita mungkin akan merasakan permusuhan kepada para sahabat Allah yang diberkahi dengan persahabatan.

MAHABAH

Mahabbah artinya cinta; dan yang dimaksudkan oleh orang-orang sufi ialah cinta kepada Allah SWT. Seperti yang diberikan kepada mahabbah ini antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.
2.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
3.      Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali diri yang dikasihi. Yang dimaksud dengan yang dikasihi di sini adalah Allah.   
Dalam sejarah, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifah  merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Tuhan. Kata cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali  mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifah kepada Tuhan.
Abu Ali Daqaq mengatakan “mahabbah adalah suatu sikap yang mulia, yang dikaruniakan Allah kepada hambanya yang dikehendaki-Nya. Allah memberitahukan bahwa Dia mencintai hambanya dan hambanya pun harus mencintai-Nya.
Sesungguhnya mahabbah itu bersumber dari iman. Karena itu, dari imanlah orang dapat mencintai Allah sebagai cinta tingkat pertama, kemudian baru cintanya kepada sesuatau yang lain. Dengan demikian, berarti orang yang mencintai Allah tidak akan mengorbankan hukum Allah karena kepentingan pribadinya. Dan sebagai konsekuensi dari cintanya kepada Allah, ia juga mencintai rasul-Nya. Dan juga harus mencintai seluruh makhluk-Nya.
Kaum sufi berbeda pendapat, apakah mahabbah dan marifah termasuk maqam atau hat. Sebagaimana juga mereka berbeda pendapat, apakah kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah ataukah sebaliknya. Di antara sufi yang berpendapat bahwa mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah ialah imam Al-Ghazali – seperti telah disebutkan di atas. Beliau berkata “cinta tidak akan terjadi melainkan sesudah tercapai ma’rifah” Ibn Qayim berkata “sesungguhnya sifat Allah dan kesempurnaan-Nya. Hakikat asma-Nya menarik hati untuk mencintai-Nya dan mendorong manusia untuk mencapai-Nya. Hati hanya mencintai yang sudah dikenalnya, ditakutinya, diharapkannya, dirinduinya dan merasa lapang karena dekat kepada-Nya dan merasa senang dan tenteram hati karena ingat kepada-Nya.
Pendapat kedua berasal dari Ibu Arabi, yang memandang ma’rifah diatas mahabbah, karena ma’rifah merasakan indah dan sabat, sedang mahabbah merupakan rasa yang mendalam. Ibn Arabi berkata “orang yang cinta apabila ia berdiam merasakan dan orang yang ma’rifah ia diam juga binasa.             
Sebenarnya, kedua pendapat di atas tidaklah jauh berbeda, bahkan satu dengan yang lainnya saling mengisi dan saling melengkapi. Karena sebagian sufi yang membawakan definisi yang satu sudah mencakup yang lainnya, umpamanya pada definisi yang dibawakan oleh Abu Ali Daqaq tentang ma'rifah, katanya: "Dari ma'rij'ah kepada Tuhan  terjadilah baihub kepada-Nya, barang siapa yang ma’rifahnya bertambah,  maka bertambah juga haibahnya”   
Menuruni Al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkatan:
1)      Cinta orang banyak, yakni mereka yang selalu mengingat Tuhan dengan zikr, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
2)      Cinta para mutabaqqiqin, yaitu mereka yang sudah kanal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya kekuasaan-Nya. pada ilmu-Nya dan lain sebagainya. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dengan Tuhan. Dengan demikian ia dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. la mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dan dialog itu. Cinta yang kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
3)      Cinta para siddiqin dan arifi, yaitu mereka yang kenal betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
K.A. Nicholson pernah mengemukakan bahwa cinta adalah prinsip tertinggi dalam etika sufi. Dalam hal ini diberikan beberapa ilustrasi tentang hal tersebut. "Cinta" ujar “Jalaluddin, adalah penyembuh bagi, kebanggaan dan kesombongan; dan pengobat bagi scluruh kekurangan  diri. Dan hanya mereka yang berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak mementingkan diri."
Raqqam dan beberapa sufi lainnya diadili, dan dijatuhi hukuman mati. Ketika para algojo mcndekati raqqam, Nuri, sahabatnya, dengan  tegar bangkit menawarkan dirinya sebagai pengganti. Para penonton terkejut. Algojo pun berkata: "Wahai anak muda, sebenarnya padang ini bukan sesuai yang dengan senang manusia memakainya; dan perhatianmu pun tidak akan ada gunanya." Nuri kemudian menjawab: "Agamaku didirikan di atas dasar tidak mementingkan diri sendiri.  Hidup adakah sesuatu yang amat berharga di dunia ini. Maka akupun ingin mengorbankan sisa-sisa nafasku, mumpung mafia sempat" Dalam kesempatan lain, pernah terdengar Nuri berdoa seperti  berikut ini: "Wahai Tuhan, yang di dalam diri-Mu tersimpan pengetahuan dan kekuasan. Mengapa manusia engkau siksa di dalam neraka yang telah Engkau ciptakan. Apabila Engkau ingin agar di dalamnya dipenuhi manusia, maka masukkanlah diriku saja dan biarkan mereka masuk ke surga-Mu."
Kutipan di atas menggambarkan betapa cintanya scoring sufi kepada Tuhan, sehingga ia rela mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya karena cinta itu butuh pengorbanan, baik itu dana, tenaga dan bahkan nyawa sekalipun. Karena itulah Abu Ya'qub Susi mengatakan: "Hakikat mahabbah ialah lupa terhadap kepentingan sendiri, karena mendahulukan kepentingan Tuhan."
Sufi yang termasyhur dalam konsep mahabbah ini ialah Rabi’ah Al-Adawiyah dari Basra  di Irak.  Di antara ucapan-Ucapannya adalah ;
“Aku mengabdikan kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka… bukan pula karena ingin masuk surga… tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya.
Tuhanku, jika kupuja engkau karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya dan jika kupuja engkau karena mengharapkan surga jauhkanlah aku daripadanya tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu dari dirikan”
    Konsep mahabbah juga mcmpunyai dasar dalam al-Qur'an dan al-Hadis antara lain Allah SWT “Allah akan mendatangkan suatu umat yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya." (QS.5.54), "Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS.3:3J). Kemudian di dalam Hadis Qudsi, antara lain, disampaikan "HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal ibadah sehingga Aku mencintainya. Orang yang Kucintai menjadi telinga, mata dan tanganKu."


BAGIAN TASAWUF

Bagian dari Ilmu Tasawwuf, ialah ibadat, bagian limpahan rahmat dan bagian Mahabbah/cinta kepada Allah. Termasuk dalam bagian tersebut, diantaranya ialah:
Nur Cahaya, Isyraq/pancaran Nur Ilahi. Ilham dari Allah dan limpahan Rahmat dari Allah. Bagian ini memakai syarat-syarat pokok supaya seseorang itu dapat masuk memulainya. Syarat-syarat itu ada dua:
1.      mempunyai pengetahuan mendalam tentang Al-Qur'an,
2.      mempunyai pengetahuan mendalam tentang sunnah Rasulullah SAW.
Kedua pengetahuan tinggi inilah yang dinamakan Tarekat atau jalan Tasawwuf yang mesti ditempuh setiap pencintanya.
Dalam menempuh kedua pengetahuan tinggi ini, menurut methods Tasawwuf, harus ditempuh dengan melalui empat Marhalah/phase
Dengan keterangan-keterangan tersebut di atas, nyatalah bahwa Tarekat/Tasawwuf adalah Agama Islam itu sendiri, karena Al-Qur'an dan Sunnah itulah kesempurnaan Agama Islam.
Atas dasar pengertian tersebut di atas nyatalah bahwa Tasawwuf, bukanlah sekedar Kebatinan atau kerohanian Islam sebagaimana tanggapan-tanggapan Ulama-ulama Fiqhi, Ulama-Ulama Usuluddin atau Theologie, bukan. Bukan juga sekedar sebagai ilmu kebatinan yang diterima orang dari sebagian Guru-Guru Tarekat, sebagai ilmu yang bertujuan untuk: menolak bala, murah rezeki, mendapat pangkat dan kedudukan, kekebalan/tidak dimakan besi/peluru atau sebagai Ilmu menundukkan orang banyak dan lain-lain.
Dalam pada ini jelas sekali dinyatakan di dalam Anggaran Dasar Persatuan Pembela Tarekat Islam (PPTI): "Tarekat, bukanlah aliran kepercayaan ataupun aliran kebathinan, tetapi Tarekat adalah bagian dari Ajaran-ajaran Agama Islam yang terpenting".

Tingkat Ma’rifat

Sebagaimana telah diterangkan di atas. Bahwa "Ma'rifat" itu merupakan tujuan pokok, yakni: mengenal Allah yang sebenar-benarnya. Bahwa Ma'rifat mempunyai persambungan langsung antara Hakekat.
Taftazany menerangkan dalam Kitab "Syarhul Maqasid": "Apabila seseorang telah mencapai Tujuan terakhir dalam pekerjaan suluknya-ilalladan fillah, pasti ia akan tenggelam dalam lautan-tauhid dan irfan sehingga zatnya selalu dalam pengawasan zat Tuhan dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan. Ketika itu orang tersebut fana dan lenyap dalam suatu keadaan "masiwallah" apa yang bersifat bukan Allah. la tidak melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah.
Dalam pada ini Ghazali menerangkan, ketika orang mengira bahwa Ghazali telah wusul - mencapai tujuannya yang terakhir ke derajat yang begitu dekat kepada Tuhan, maka Ghazali berkata; "barang siapa mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan bahwa itu, suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, utama dan jangan lagi bertanya". Selanjutnya Ghazali menerangkan: "bahwa hatilah yang dapat mencapai hakekat sebagaimana yang tertulis pada Lauhin Mahfud, yaitu had yang sudah bersih dan murni. Alhasil, tempat untuk melihat dan Ma'rifat Allah ialah “hati”.

Tujuan Terakhir dari Tasawuf

Adapun tujuan terakhir ialah ma’rifat yaitu puncak dari segala-galanya, yang pada tingkat mana salik dapat merasakan Tuhan untuk siapa dipersembahkan segala amal dan ibadat itu.
Ma’rifat dapat dicapai dengan jalan melalui syariat, menempuh Tarekat, memperoleh Hakekat.
Jadi      : syariat, ialah peraturan
              Tarekat, ialah pelaksanaan
              Hakekat, ialah keadaan
               Ma’rifat, ialah sebagai puncak segala

Sumber-Sumber Artikel :
Ø Buku Kunci-Kunci Rahasia Sufi
Ø Buku Pengantar Studi Tasawuf
Ø Buku Kunci Memahami Ilmu Tasawuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar